Pelajaran Jumat Pagi : Toleransi


Pelajaran Jumat Pagi : Toleransi


Seperti minggu-minggu sebelumnya, Jumat pagi ini saya melihatnya kembali bersama teman-temanya menyiapkan terpal yang akan digunakan sebagai alas untuk sholat duha di lapangan sekolah kami. Setelah semuanya dipastikan rapih, bersih dan siap digunakan untuk sholat, bergegas dia memisahkan diri dari kerumunan jamaah, menunggu kami dari kejauhan sampai ibadah duha pagi ini selesai.

Entah kenapa pemandangan pagi ini membuat saya terkesan dan ingin merekamnya dalam tulisan kecil ini. Mungkin sekedar untuk mengingatkan diri sendiri bahwa saya harus senantiasa mau dan mampu belajar tentang ahlak, kebaikan serta kebijaksanaan dari siapapun termasuk dari murid saya sendiri!

Kesan terhadap anak ini bukan saja karena kebaikanya yang dia lakukan di setiap jumat pagi. Murid-murid yang lain (terutama osis & ekskul rohis) juga melakukan hal yang sama. Namun yang terasa istimewa adalah dia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan saya (kami) yang ada di lapangan itu.

Ya.. dia seorang penganut Hindu, dengan nama yang cukup panjang ; Sang Dewa Sidan Mahatma Vagishvara.

Tertarik dengan bunga yang terselip di telinganya mendorong saya untuk berbincang denganya. Pertanyaan tentang makna filosofis bunga dalam tradisi agamanya memulai perbincangan yang singkat itu. Dengan cukup lancar dia menjelaskan bahwa bunga memiliki arti penting dalam ritual ibadah umat Hindu. Bunga berfungsi sebagai sarana Persembahyangan, ia melambangkan ketulus ikhlasan, kesucian hati dan cinta kasih Tuhan.

Bunga juga memiliki makna religius lainya sebagai penebar wangi harum. Seorang manusia hendaknya berperilaku seperti bunga yang kehadiranya senantiasa menebar keharuman dengan cara memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang lain karena itu merupakan bagian dari penghormatan kepada Tuhan, Sang Pencipta manusia. Apa yang dikatakanya persis seperti apa yang dilakukanya pagi ini, meski untuk teman-temanya yang tidak seagama denganya.

Pagi ini saya menemukan contoh nyata indahnya toleransi antar umat beragama, bukan sekedar wacana atau semboyan. Sudah sedari dulu kita mendengar bagaimana toleransi diajarkan dan disosialisasikan tapi intoleransi dan konflik karena perbedaan kerap kali terjadi. Masyarakat kita seperti kehilangan jati dirinya sebagai bangsa. Padahal jika menengok sedikit ke masa lalu, kita akan menemukan kenyataan bahwa bangsa ini dibangun oleh nilai-nilai toleransi yang kelak menjadi fondasi berdirinya negara kesatuan saat ini.

Mari kita buka sedikit lembaran sejarah bagaimana harmonisnya kehidupan masyarakat kita dimasa lalu.

Penemuan puluhan fosil manusia purba di perbukitan karst di Baturaja, Sumatra Selatan adalah bukti bahwa benih-benih toleransi sudah muncul sejak zaman pra-aksara. Hasil identifikasi menunjukan fosil-fosil tersebut berasal dari dua ras yang berbeda yaitu Austromelanesoid dan Mongoloid. Kedua ras ini sudah hidup berdampingan dengan damai, berinteraksi dan melakukan perkawinan antar ras yang mengakibatkan perkawinan gen diantara keduanya.

Pada masam Mataram Kuno lebih dari seribu tahun lalu, Umat Hindu-Budha sudah hidup rukun berdampingan satu sama lain. Candi-candi yang banyak berdiri pada masa ini baik candi Hindu ataupun Budha, dibangun secara gotong royong oleh kedua umat. Puncak keharmonisan hubungan kedua penganut agama terjadi ketika Rakai Pikatan (Hindu) menikahi Pramodhawardhani (Budha). Meski sejatinya untuk tujuan politik, namun tidak dapat dipungkiri perkawinan tersebut menjadi simbol untuk memperkuat sikap toleransi keagamaan antar masyarakat saat itu

Sikap saling menghormati terhadap umat lain juga dicontohkan oleh Sunan Kudus ketika Islam berkuasa di Jawa. Sang wali pernah memerintahkan para pengikutnya agar tidak menyembelih atau mengkonsumsi sapi, untuk menjaga agar “saudara-saudara” yang beragama Hindu tidak tersakiti perasaanya  karena mereka menganggap sapi sebagai hewan suci.

Pada masa-masa awal bangsa ini berdiri, tokoh-tokoh nasional saat itu menunjukan keteladanan toleransi yang melewati batas agama, ras, etnik dan pandangan politik. M. Natsir misalnya, pendiri dan pemimpin partai Masyumi ini diketahui memiliki persahabatan yang akrab dengan tokoh partai Katolik IJ Ksimo  serta saudara-saudara Nasrani lainya seperti AM tambunan dan Johanes Leimena. Juga ada kisah KH. Wahid Hasyim putra pendiri organisasi islam terbesar di negara ini yang bersahabat dengan tokoh yang berideologi komunis, Tan Malaka. Gus Dur pernah menceritakan  bahwa ayahnya berpelukan dengan erat dan menerima kedatangan Tan Malaka di rumahnya dengan penuh kehangatan. Padahal kalau melihat ideologi keduanya, sulit bagi mereka untuk menyatu. Namun demikian meski memiliki perbedaan pandangan politik yang tajam tidak membuat mereka saling mencerca dan membenci, justru saling menghargai satu sama lain.

Masih banyak kisah-kisah dimasa lalu tentang bagaimana indahnya pergaulan lintas batas, harmonisasi kehidupan terjadi karena adanya kesadaran untuk senantiasa mencari persamaan ditengah-tengah beragam perbedaan yang mereka miliki. Teladan masa lalu juga memperlihatkan kepada kita bahwa toleransi ialah sesuatu yang aktif, bukan pasif sebatas wacana atau tema. Ia harus diwujudkan dalam perilaku yang nyata dan menjadi bagian dari cara pandang serta sikap hidup masyarakat kita sehari-hari.

Indonesia adalah rumah bagi berbagai macam perbadaan yang bisa hidup dengan damai dan harmonis, oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk menghormati keberagaman, keikhlasan untuk menerima perbedaan dan aksi untuk muwujudkan kedamaian. Hal ini mutlak dibutuhkan apalagi mengingat kondisi masyarakat kita sekarang ini yang rentan sekali terjadi gesekan karena masalah perbedaan, baik itu karena masalah SARA, pandangan politik atau apapun.

Pagi ini dari seorang murid saya belajar kembali bahwa persaudaraan adalah jalan utama bagi sebuah Bangsa untuk membangun peradabanya. Dan sebagai seorang Hamba saya diingatkan kembali bahwa mencintai sesama manusia adalah salah satu wujud keimanan. Seorang Hamba yang baik akan senantiasa berusaha memberi manfaat satu sama lain, menyebarkan ketenangan, kedamaian dan rahmat bagi siapapun. Seperti bunga, yang tidak bisa mengeluarkan kata-kata tapi kehadiranya membawa keindahan dan keharuman bagi sekitarnya.

Tabik.


Previous
Next Post »
Thanks for your comment