Beberapa bulan terakhir perhatian kita terfokus pada mewabahnya sebuah
penyakit yang disebabkan oleh virus corona jenis baru atau yang disebut dengan
covid-19. Penyakit yang pada awalnya diduga berasal dari pasar hewan liar di
Provinsi Wu-Han Cina segera menjadi sebuah epidemi di negara itu.
Jumlah pasien yang meningkat drastis serta penyebaranya yang begitu
massif membuat wabah ini dalam waktu yang singkat menjadi pandemi global.
Selang beberapa minggu setelah penyakit ini membunuh seorang pria tua di Cina,
WHO mengumumkan bahwa virus corona telah menyebar ke 18 negara dan harus
ditangani secara serius oleh semua negara di dunia. hingga saat ini (per 21
Maret 2020) sudah lebih 244.000 orang terinfeksi di 160 negara dan lebih 10.000
orang meninggal.
Wabah virus corona telah mengubah wajah dunia dalam sekejap, berbagai
bidang kehidupan manusia mengalami dampak akibat penyakit ini. Interaksi social
seketika terbatasi karena dugaan penularan virus ini begitu mudahnya antar
manusia, kegiatan ekonomi perlahan lumpuh karena banyak perusahaan menghentikan
operasionalnya dan memindahkan aktifitas kerja dari kantor menjadi bekerja di
rumah (work from home).
Begitu pula dalam dunia pendidikan, negara-negara yang warganya
terkonfirmasi terpapar Corona menghentikan kegiatan belajar – mengajarnya dan
merumahkan sementara siswa-siswinya. Bahkan aktifitas ritual keagamaan pun tak
luput dari dampak virus corona ini, di negara kita himbauan untuk menghentikan
sementara ibadah sholat berjamaah telah dikeluarkan untuk menghindari
penyebaran virus ini.
Dunia saat ini sedang bahu-membahu untuk menangani pademi global virus
corona. Pemerintah setiap negara tengah berupaya mencari solusi terbaik sesuai
dengan kondisinya masing-masing untuk menyelamatkan rakyatnya. Para peneliti
sedang berpacu dengan waktu untuk menemukan penawar dari penyakit berbahaya
ini.
Jika mundur ke belakang, sebetulnya fenomena seperti saat ini bukanlah
yang pertama kali bagi umat manusia. Dalam sejarahnya, dunia pernah mengalami
beberapa pandemic global yang mengancam keselamatan umat manusia, membunuh
jutaan nyawa, menyebabkan jatuhnya sebuah dinasti bahkan sampai mengubah iklim
dunia. Mari kita bahas beberapa diantaranya.
Wabah Justinian I (Yustianus)
Wabah Justinian adalah pandemik berupa wabah pes yang menyerang
Kekaisaran Romawi Timur (Kekaisaran Bizantium) pada abad ke-6. Wabah ini
menewaskan sekitar 30-50 juta orang, atau sekitar 26% dari populasi dunia. Ini
juga diyakini sebagai awal mula kemunculan penyakit pes yang dibawa oleh tikus
dan disebarkan oleh kutu yang menyebabkan wabah Black Death berabad-abad
setelahnya
Wabah itu mendorong lahirnya rencana Kaisar Justinia untuk menyatukan
Kekaisaran Romawi dan menyebabkan kekacauan ekonomi besar-besaran karena
perdagangan terhenti, akhirnya kekaisaran ini melemah. Wabah juga menciptakan
suasana apokaliptik yang mendorong penyebaran agama Kristen dan kejatuhan
imperium Romawi.
Wabah kematian hitam (Black Death), kebangkitan Eropa Barat dan Lahirnya
teori Gravitasi
(Orang Eropa berdoa dengan putus asa agar wabah penyakit pes di era
1350-an ini segera berakhir. )
Pada 1347, wabah kembali menghampiri Eropa. Puluhan juta orang tertimpa
penyakit, tubuh mereka menyerah pada penyakit dengan cara yang berbeda.
Beberapa orang menunjukan bengkak di leher, ketiak, dan paha mereka; beberapa
menunjukkan daging yang menghitam karena pendarahan di bawah kulit; beberapa
batuk darah karena peradangan di tenggorokan dan paru-paru mereka. Tetapi
mereka semua mengalami satu hal yang sama: demam, kelelahan, dan bau busuk yang
menguar dari tubuh.
Persentase kematian yang besar ini diyakini berasal dari penyakit pes
yang menimpa banyak buruh tani. Ini membuat para pemilik lahan kekurangan
tenaga kerja. Akibatnya kemudian, pekerja pertanian jadi punya posisi tawar
lebih besar dan menyebabkan runtuhnya sistem feodalisme dan lahirnya sistem ekonomi yang lebih modern.
Upah untuk mempekerjakan orang jadi lebih mahal saat itu. hal inilah yang membuat para pemilik usaha mulai menanamkan
modal untuk mengembangkan teknologi guna menciptakan mesin untuk menggantikan
manusia. Bahkan ada pandangan bahwa wabah ini mendorong terjadinya imperialisme
yang dilakukan negara-negara Eropa.
Perjalanan laut dan eksplorasi dunia baru dulu dipandang sangat berbahaya. Namun
dengan tingkat kematian yang begitu tinggi disebabkan oleh pagebluk (epidemi)
di negaranya memaksa orang-orang Eropa lebih berani untuk melakukan perjalanan jauh. Ini
yang mendorong lahirnya abad penjelajahan dan kolonialisme Eropa mulai berkembang.
Gabungan efek dari modernisasi ekonomi, peningkatan investasi dalam
teknologi dan dorongan melakukan ekspansi ke luar negeri dipercaya menjadi
faktor yang membuat Eropa Barat menjadi salah satu kawasan paling berkuasa di
muka bumi kini.
Wabah Pes kembali muncul di London, Inggris antara tahun 1665 sampai
1666. Saat itu diperkirakan lebih dari 100.000 orang mati akibat penyakit ini.
Persis seperti sekarang, saat itu lembaga pendidikan seperti Universitas
ditutup. Para cendikiawan pergi ke desa-desa dimana penduduk tidak terlalu
padat.
[ Isaac Newton ]
Salah satu diantara cendikiawan itu adalah; Isaac Newton. Memilih untuk
bekerja di rumah, tampaknya membuat Newton lebih produktif. Newton mencoba
memecahkan soal-soal matematika dari kampus. Makalah yang ditulisnya itu
digadang-gadang sebagai cikal bakal kalkulus yang kita kenal sekarang.
Disamping itu, penemuanya dalam bidang optik dan cahaya, kalkulus, serta
hukum gerak dan gravitasi disebut-sebut lahir ketika Newton bekerja di rumah
(work from home)
Wabah Pes di Indonesia
H.J. de Graaf, ahli Jawa kuno menyebutkan bahwa di tanah Jawa dari tahun
1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong
kesejahteraan dan kekuatan rakyat. Penyakit itu telah membunuh 1/3 penduduk
Banten dan 2/3 di beberapa daerah di Jawa Tengah.
Awal abad 20, penyakit ini mewabah kembali di Hindia-Belanda (Indonesia).
Antara tahun 1910-1939 wabah ini memakan 39,254 korban jiwa di Jawa Timur dan
4.535 di Yogyakarta. Yang terparah adalah Jawa Tengah. Di tanah itu, pes hitam
mematikan 76.354 orang. Tak berhenti sampai situ. Wabah pes terus merembet ke
bagian barat tanah Jawa. Pada 1920-an, pes mulai menyerang Cirebon, Priangan,
dan Batavia. Angka kematian yang diakibatkan pun besar. Dari periode wabah
1933-1935, pes hitam mencabut 69.775 nyawa di Jawa Barat.
Akibatnya, pemerintah kolonial kehilangan banyak pekerja dan buruh kasar
yang tenaganya biasa mereka pakai di perkebunan, pertambangan mineral, hingga
pembangunan jalan. Dari sisi ekonomi politik, pes hitam berdampak besar pada
penyusutan arus kas Belanda. Dalam arti lain, wabah pes hitam amat mengancam
eksistensi Hindia Belanda kala itu.
Upaya pemberantasan yang dilakukan pemerintah kolonial kacau balau. Para
dokter Eropa di Batavia banyak banyak menolak mengobati pasien pes yang
rata-rata masyarakat pribumi. Melihat kondisi tersebut, Dokter Tjipto
Mangunkusumo bersama dokter Jawa lulusan STOVIA lainnya terpanggil untuk
menolong saudara-saudaranya setanah air.
Kehadiran Dr. Cipto dan rekan-rekanya menjadi oase ditengah sikap rasial
dokter-dokter Belanda yang enggan menyentuh pasien pribumi.
Wabah cacar di Amerika dan Perubahan Iklim
Orang-orang Eropa mengenalkan sejumlah penyakit baru ketika pertama kali
tiba di benua Amerika pada tahun 1492. Salah satunya adalah cacar, sebuah
penyakit menular yang menewaskan sekitar 30 persen dari mereka yang terinfeksi.
Selama periode tersebut, cacar merenggut nyawa sekitar 20 juta orang atau
hampir 90 persen dari populasi di Amerika saat itu. Artinya Pembunuh terbesar
yang dibawa orang Eropa ke Amerika adalah penyakit cacar
Namun, pandemi ini justru membantu para orang Eropa untuk menjajah dan mengembangkan
daerah-daerah baru yang dikosongkan. Bencana yang mengerikan dan membuat
sengsara manusia di benua Amerika ini juga punya dampak lain terhadap dunia
Dengan berkurangnya jumlah manusia di bumi, berkurang juga jumlah tanah
yang dijadikan pertanian atau dihuni. Kawasan luas kemudian kembali menjadi
hutan atau padang rumput.
Kawasan yang berbuah seperti itu diperkirakan luasnya 560.000 kilometer
persegi, sama dengan Prancis atau Kenya. Pertumbuhan besar tanaman dan pohon
menyebabkan penurunan drastis kadar karbon dioksida (CO2) dan ini terekam dalam
contoh es dari Antartika sehingga terjadi penurunan suhu di berbagai tempat di
dunia Saat itu suhu iklim global menurun
Kolera
Kolera meskipun masih dikenal sebagai epidemi tapi telah memiliki syarat
sebagai pandemi, karena persebaran dan dampaknya yang simultan pada manusia dan
menewaskan ratusan ribu manusia.
Kolera dilaporkan menginfeksi 1,3 juta hingga 4 juta orang setiap tahun,
dengan kematian tahunan berkisar antara 21.000 hingga 143.000.
Penyakit ini sendiri disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang
terkontaminasi oleh bakteri tertentu. Oleh karena itu, wabah kolera sangat
membahayakan negara-negara dengan kesenjangan yang tinggi, kemiskinan, tingkat
kesehatan rendah dan pembangunan sosial yang kurang.
Masa kolera yang panjang menciptakan dampak politik di beberapa tempat
dan kejadian. Di Perancis pandemi ini menyebabkan revolusi Paris pada 1832.
Saat itu Paris adalah kota yang kotor dan membuat kolera mudah tersebar. 20
ribu orang meninggal akibat Kolera di Paris.
Flu Spanyol (H1N1)
Ada dua versi yang menyebutkan asal kemunculan virus Flu Spanyol.
Perkiraan pertama, virus ini mulai mewabah di kompleks militer Fort Riley,
Amerika Serikat pada Maret 1918. Virus ini lalu menyebar ke Eropa ketika
Amerika Serikat mengirim tentara ke medan Perang Dunia I. Perkiraan lain
menyebutkan, wabah flu Spanyol bermula di Swedia atau Rusia dan lalu menyebar
ke Cina, Jepang, hingga Asia Tenggara.
Spanish Flu menyebabkan kematian sekitar 40-50 juta orang hanya dalam
kurun waktu satu tahun saja. Pada saat itu, tidak ada obat atau vaksin yang
efektif untuk mengobati jenis flu yang mematikan ini. Warga diperintahkan untuk
mengenakan masker; sekolah, teater dan bisnis ditutup; mayat-mayat ditumpuk di kamar
mayat sementara sebelum virus berakhir pada musim panas tahun 1919.
Virus ini menghilang secara misterius karena dibayangi oleh kematian pada
Perang Dunia I dan tertutupi oleh pemadaman berita dan pencatatan yang buruk.
Satu abad setelahnya ia kembali dan dikenal sebagai Flu Babi meski tidak
menyebabkan jumlah kematian seperti pada saat kemunculan pertamanya.
Ebola
Virus Ebola dinamai sesuai dengan sebuah sungai yang dekat dengan lokasi
awal wabah. Pandemi ini dimulai dari sebuah desa kecil di Guinea pada tahun
2014 dan menyebar ke beberapa negara tetangga di Afrika Barat.
Virus ini telah menewaskan 11.325 orang dari 28.600 orang yang
terinfeksi, dengan sebagian besar kasus di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. ;
Penanganan kasus virus Ebola diperkirakan menelan biaya total sebesar 4,3
miliar dollar AS dengan investasi masuk menurun secara dramatis di tiga negara
terdampak.
Adakah hal positif dibalik semua ini?
Dampak yang dibawa virus ini bukan hanya hal-hal tersebut, namun juga
telah memporak-porandakan ekonomi banyak negara. Bahkan, beberapa negara
terancam masuk ke jurang resesi karenanya dan ekonomi dunia terancam mengalami
perlambatan.
Namun demikian, menurut antropolog interdisipliner dan ilmuwan kognitif
Samuel Paul Veissière Ph.D., ketakutan yang berlebihan yang muncul terhadap virus itu justru merugikan. Sebab, bisa menimbulkan risiko sosial, ekonomi,
dan psikologis yang bisa hadir tanpa disadari.
Lebih lanjut, Veissière menjelaskan bahwa wabah corona yang sedang kita
hadapi sekarang ternyata punya banyak sisi baik. Menurutnya ada beberapa hal
baik lain yang tersembunyi dari COVID-19, seperti yang dia jelaskan berikut ini
:
1. Meningkatkan kewaspadaan dan rasa syukur
berita buruk mengenai virus ini di media telah membuat umat manusia lebih
memperhatikan kesehatan dan mensyukuri kebaikan yang ada pada tubuh
masing-masing pribadi.
"Kita lebih sadar, dan bersyukur atas rantai kompleks dari produksi,
pasokan, pemeliharaan, dan perawatan yang tanpanya masyarakat kita tidak bisa
hidup. Yang paling penting, kita sekarang diingatkan bahwa kita memiliki, dan
bahwa kita adalah, masyarakat global. Menjaga satu sama lain adalah hal yang
memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dan berkembang melawan segala
rintangan.
2. Mempererat persaudaraan
Menurut Veissière, semenjak COVID-19 muncul, banyak negara-negara di
dunia mulai gotong-royong, bekerja sama dengan negara lainnya di belahan dunia.
Bahkan, bukan hanya dalam skala besar, di antara individu, tingkat kepedulian
terhadap sesama juga makin tinggi.
Contohnya adalah banyak orang rela membantu orang lain mengambil tindakan
pencegahan untuk melindungi mereka yang lemah, bahkan terhadap orang asing
sekalipun. Juga, terhadap musuh, sebagaimana yang terjadi dengan Israel dan
Palestina.
3. Memperluas batasan psikologi
Veissière mengatakan, bencana alam biasanya menyatukan orang dan memicu
tindakan solidaritas spontan di antara orang asing. Namun, itu semua terjadi melalui
berbagai ujian atau bencana. Sebab pada masa lalu kemunculan pandemi atau
bencana kerap kali memicu lahirnya xenophobia, diskriminasi, konflik, dan
persaingan untuk sumber daya.
"Tetapi manusia tampaknya telah belajar dari kesalahan masa
lalu." katanya. Pandemi telah menawarkan peluang nyata untuk menyatukan
seluruh umat manusia untuk melawan ancaman nyata, dan tanpa tanpa memikirkan
batas kesukuan, rasis, atau eksklusifitas sebuah komunitas."
4. Memberi jeda
Hal baik lain yang datang dari wabah COVID-19 adalah membantu kita
mengambil jeda dari kerja keras dan produktivitas berlebih, kata Veissière.
Sebab, wabah ini telah membuat banyak orang terpaksa harus mengkarantina diri,
tidak perlu bekerja keluar rumah, tidak perlu pergi ke sekolah, tidak bisa
melakukan perjalanan ke luar kota atau bahkan luar negeri.
Di saat-saat seperti ini juga banyak orang mungkin memiliki lebih banyak
waktu untuk beristirahat, menjalankan hobi, hingga merawat diri dan berkumpul
bersama orang-orang terkasih. Di mana pada akhirnya membuat manusia lebih
menghargai diri sendiri dan orang lain, dan mengurangi tingkat stress.
"Ketika langkah-langkah jarak sosial (social distancing) sedang
dilaksanakan di seluruh dunia, ada peningkatan tajam dalam kualitas udara yang
menyelamatkan jiwa terjadi mulai dari di China sampai Italia, dengan ;emisi
karbon mencapai titik terendah baru ;setiap hari karena berkurangnya perjalanan
udara."
5. Menyadarkan pentingnya seseorang dan hubungan
Veissière mengatakan, di saat orang diisolasi, mereka akan mulai
memikirkan orang-orang yang tidak ada di sekitar, seperti teman, kerabat,
keluarga, hingga rekan kerja. Dari sini, mereka akan mempelajari pentingnya
untuk tetap menjadi terhubung dengan orang-orang di luar sana sembari
memastikan keselamatan diri sendiri dan orang lain.
"Ada waktu untuk segala sesuatu di bawah matahari ... ada waktu
untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk. Sulit untuk menerima
bahwa hal terpenting dan bermanfaat yang dapat kita lakukan saat ini adalah
tetap di rumah. Tapi kita melakukan itu untuk menyelamatkan hidup dan saling
menjaga satu sama lain."
"Mari kita bersyukur bahwa masa-masa sulit ini telah membawa kita
lebih dekat bersama. Matahari akan terbit kembali."
(artikel diatas saya kutip dari berbagai sumber dengan beberapa
modifikasi tanpa menghilangkan esensi tulisan aslinya)
Sumber :
- Kompas.com 24/03/2020 : Wabah Penyakit Menular Terjadi Setiap 100 Tahun
- Katadata.co.id 25/3/2020 : Sejarah Pandemi dan Epidemi di Dunia yang Memicu Gejolak Politik
- Asumsi.co 18/03/2020 : Manusia VS Pandemi, dari Masa ke Masa
- Historia.id : Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah
- cnbcindonesia.com : 18/03/2020 : Ambil Positifnya, Wabah Corona Berikan Sisi Baik Untuk Umat Manusia
- voi.id 17/03/2020 : blackdeath, wabah pencabut puluhan juta nyawa yang ditangani ogah-ogahan oleh pemerintah kolonial.
3 komentar
Click here for komentarAlhamdulillah terima kasih bang pencerahannya. Analisanya mantap
ReplyMantap pak, lanjutkan! Salam dari saya murid bapak, yang masih memfavoritkan bapak sebagai guru sejarah terbaik selama masa SMA! Hehe
Replysekarang sy yg mengidolai kamu yaa.. mahasiswa hukum namun sudah menunjukan bakat jadi penulis yg handal.
Replysy pesan buku kamu gimana caranya?
ConversionConversion EmoticonEmoticon